Ulfa


Cuman Penulis Amatir

Bismillahirrahmanirrahim

Zaid, anak shaleh, ijinkan Umma menorehkan perjalanan hidupmu disini ya?
Tidak semua, hanya beberapa.
Agar kelak Zaid bisa membaca dan merasakan rasa cinta Umma. Ketika Umma masih bersama atau setelah tiada.

MasyaaAllah Tabarakallah

5 februari 21

Jumat dini hari, Allah mentakdirkanmu untuk lahir di hari yang baik. Atas izin Allah ta’ala, Umma melahirkanmu dengan segala upaya dan tenaga yang tersisa setelah seharian penuh merasakan kontraksi.

Ketika melihatmu dan memeluk erat tubuhmu yang mungil itu, seketika hilang rasa sakit berganti dengan tangis haru bahagia. Berkali-kali umma memuji Ar-Rahiim dan memanggil namamu, nak.

Bila bukan bantuan dari Allah ta’ala, umma hanya wanita lemah tak berdaya.

1-30 hari

Setelah engkau lahir, umma juga lahir menjadi diri yang baru. Masa-masa awal merupakan adaptasi yang besar, sejujurnya umma sedikit kesulitan.

Mulai dari ASI yang belum keluar, puting payudara yang luka parah, tubuh Zaid yang kuning, hingga menolak menyusu langsung (yang membuat umma bersedih).

Alhamdulillah nak, semua itu dapat terlewati karena abi dan kakek nenekmu selalu membantu juga mendukung umma.

Zaid, pujilah Allah nak, karena semua menyayangimu.

7 maret 21

Satu bulan lebih semenjak kelahiran Zaid. ASI semakin lancar dan kamu sudah mau menyusu langsung. Karena setiap pagi dijemur sama nenek kakek sebelum mandi, akhirnya kulit Zaid jadi eksotis maksimal. hihihi lucu pokoknya

Semua ini adalah ni’mat dari Allah ta’ala.

5 April 21

Zaid dicukur plontos untuk pertama kali di tukang cukur waktu sore hari. Sekarang sudah gak nyaman dibedong, tangan kaki pinginnya bebas. Suka main krincingan.

Zaid mulai tummy time pelan-pelan, supaya otot lehernya kuat. Mulai bulan ini, umma sama abi sepakat untuk menerapkan disiplin jam tidur malam ke Zaid. Memperkenalkan siang dan malam. Saat siang di ajak main, atau lihat-lihat keluar rumah. Ketika malam setelah adzan isya terap di kamar dalam keadaan cahaya remang, menjelaskan kalau waktunya tidur.

Atas izin Allah, berhasil meskipun butuh waktu yang lumayan.

30 April 21

Akhir bulan di pertengahan Ramadhan Zaid dan umma ke Semarang, dijemput mbah setelah jemput bulek Ulum di Jogja.

Semua begitu sayang padamu nak, maka banyaklah bersyukur.

13 mei 21

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar

Hari ini adalah hari raya Idul Fitri pertamamu anakku. Berbahagialah, bersuka citalah.

Semoga Allah mengijinkan umma dan abi untuk terus membersamaimu.

Beberapa hari setelah Idul Fitri, sebagian teman umma yang di Semarang datang untuk melihat Zaid. Ada tante Winda, tante Kiki, tante Oki, tante Vina.

8 Juni 21

MasyaAllah untuk kali pertama Zaid bisa tengkurap sendiri. Terimakasih ya nak sudah berusaha dan pantang menyerah.

5 Juli 21

Bulan ini Zaid senang tengkurap. Sebentar-sebentar tengkurap, tapi kadang gagal. Tidak apa-apa nak, belajar terus ya.

28 Juli 21

Jurnal

Tamat

Siapapun gak akan bisa milih kapan dan gimana akhir dari perjalanan hidup.

Kematian itu gak sama dengan tunggu giliran wawancara kerja, yang sebelum diterima ditanya,
”Kamu siap gak....”
atau,
”Seberapa yakin kamu..”

Kematian juga bukan tamu yang harus bilang,
“Permisi..”

Kematian juga bukan alarm yang bisa kita atur waktu pengingat.

Kematian itu seperti pencuri yang datang tiba-tiba untuk mengambil waktu.

Surakarta, 4 November 2021

Bidadari

Pinginnya selalu dipahami, tapi lupa kalau orang lain juga ingin diperlakukan hal yang sama.

Pinginnya sih selalu diperlakukan lemah lembut, tapi secara gak sadar justru cari ribut.

Selalu diberi, tapi kalau ada setitik kesalahan malah lupa semua kebaikan.

Kalau sudah begitu, apa masih layak disebut “Bidadari“?

Surakarta, 8 November 2021

Lima perkara

Jangan bandingkan matematika Allah sama dengan matematika makhluk.

Bagi Allah sang Maha Kaya, 1 + 1 bisa jadi 10 atau 100 bahkan 0.5.

Manusia itu tabiatnya memang selalu merasa kurang dan tidak puas, namun, bukan tak mungkin untuk merasa cukup.

Wahai hati yang terlena, siapkah kamu mempertanggungjawabkan Lima perkara sebelum lima perkaramu? Sehatmu? Mudamu? Hartamu? Lapangmu?

Surakarta, 17 November 2021

Cerita pendek

”Antara prinsip dan cinta, dengan segala konsekuensinya, mana yang akan dilepas?”

Pagi ini seluruh kursi gereja telah memiliki tuan, tak ada yang dibiarkan kosong. Para tamu undangan duduk dengan khidmat, mereka menanti dengan seksama, hendak menyambut sang mempelai wanita yang akan berjalan menuju altar bersama walinya kepada pria dengan setelan jas hitam didepan sana.

Si mempelai pria turut menunggu dalam diam berbalut senyum penuh kebanggaan melihat wanitanya yang akan segera datang. Gugup tentu saja. Jantung berdetak lebih cepat akibat dari hormon adrenal yang terlepas, menimbulkan perasaan senang yang tak dapat terdefinisikan. Hampir copot rasanya.

Senja telah melingkarkan tangan di lengan ayahanda tercinta. Keduanya mulai berjalan perlahan bersama. Sosok paruh baya yang merupakan cinta pertama anak wanitanya kini dengan gagah dan penuh wibawa mengantarkan Senja kepada belahan hati yang sebentar lagi akan menjadi suami.

Gaun putih yang dikenakan membuatnya nampak lebih anggun dan mempesona. Aura kecantikan dalam riasan tipis pada wajah begitu natural sehingga memancar kepada setiap mata yang memandang. Senyumnya merekah indah seperti bunga matahari di kala pagi.

Seluruh mata tertuju pada Senja, terpukau dengan keelokan alaminya. Beberapa ada yang berkaca-kaca, termasuk calon suaminya. Beberapa kali pria itu terlihat mengatur napasnya, sengaja menahan kedipan mata seolah tak ingin melewatkan sedetikpun bidadarinya.

“Wanitaku..” ucap dalam hati.

Senja juga tak kalah gugupnya. Ia beberapa kali tak sengaja mengeratkan pegangan tangan, berharap setidaknya gugupnya akan berkurang. Tatapan dari calon suami yang jaraknya masih beberapa langkah didepan sana berhasil membuatnya tersipu.

Saat pandangan mata teralihkan ke kursi tamu, Senja menangkap figur itu. Lelaki dengan setelan jas abu yang tersenyum lebar. Seseorang yang sangat ia kenal, dimana dulu mereka pernah mengikat suatu hubungan.

Meskipun kini perasaan telah benar-benar lenyap, namun ingatan tak semudah itu hilang. Mereka pernah berlayar pada kapal yang sama, tapi titik berlabuh mereka berbeda. Tak bisa saling memaksa untuk berada ditempat atau bersama turun di satu pelabuhan.

“Senja, anak ayah, tak terasa kamu sudah dewasa dan tugas ayah sebentar lagi akan berpindah.

Meskipun begitu, dimata ayah kamu tetaplah gadis ayah.

Semoga Tuhan memberkatimu, nak.”

Suara lirih ayah membuyarkan fokus Senja. Menyelami ucapan sang ayah, membuat sepasang matanya berkaca-kaca. Ia tak sempat berkata, karena mereka telah sampai pada tempat tujuan. Tempat dimana janji suci akan terikat. Janji sehidup dan selamanya, dalam suka maupun duka, dalam limpah ataupun kurang, saat sehat dan juga sakit hingga maut memisahkan.

”Segores luka yang teramat dalam akan meninggalkan bekas. Namun, perlahan akan memudar. InsyaAllah.”

Hujan mulai mengguyur kota saat malam hari. Tidak begitu deras, namun menambah kesan dingin diruang berpenyejuk udara. Tidak terlalu gaduh, tetapi suara rintiknya terdengar hingga kedalam kamar rumah sakit. Tempias titik-titik air terlukis dikaca luar jendela, beberapa ada yang menyatu kemudian merembet bergulir kebawah.

Lanskap yang terbingkai pada kotak jendela membiaskan cahaya kerlap-kerlip yang sedikit buram. Bila hujan tidak turun, dari sana mungkin akan terlihat beberapa rumah dan gedung menjulang, jalanan kota, pun lalu lalang kendaraan.

Lampu kamar masih menyala terang, sepertinya belum ada tanda-tanda ingin dimatikan dalam waktu dekat. Rintikan hujan menjelma sebuah lagu merdu dalam kesunyian yang terbentang, mengisi titik-titik sebagian besar hati yang kosong.

Ruangan dengan dinding putih tulang menjadi saksi bisu antara dua insan yang saling menguatkan.

Suara gemuruh mulai menajam saling bersaut-sautan seolah sedang menunjukkan kemarahan. Namun begitu, sepasang manusia itu tidak peduli, mereka tengah sibuk menyusun pecahan hati. Segenggam perasaan yang sebelumnya baik-baik saja, kini telah hancur menjadi sesuatu yang entah apa namanya.

Tertatih-tatih mencoba untuk memperbaiki, memoles kepingan yang terkumpul dengan ketegaran, akan tetapi mereka hanyalah manusia biasa. Lemah tak berdaya.

Jari-jemari tangan saling meraih, bertaut untuk saling tolong menolong, agar keduanya tak semakin terdorong kedalam sesuatu yang disebut keputusasaan.

“Maaf... maafin aku ya..
Aku bodoh.. ceroboh..
Semuanya jadi begini karena aku..”

Wanita itu menatap pilu, sinar mata sendu dengan air mata menggenang menunjukkan rasa bersalah yang tiada habisnya.

“Segala yang terjadi pasti memiliki alasan. Allah sedang menguji kita, itu tandanya kita akan naik kelas.
Istriku sayang, mari kita berjuang bersama?”

Tiap detik terasa lama.

Ucapan dokter ahli kandungan tempo hari selalu terngiang di kepala dan tak kunjung mereda, itu sungguh menyiksa, sangat memekakkan telinga. Ada sisi dalam diri yang memohon untuk berhenti, mengatakan segala apa yang terjadi hanyalah mimpi semata. Tetap saja, rasa perih dari luka batin yang menganga terus memaksa diri untuk membuka mata selebar-lebarnya.

Sesuatu yang mereka nantikan keberadaanya-yang mereka rindukan hadirnya-yang membuat keduanya penuh rasa syukur dan berjanji akan menjaga juga merawat dengan sepenuh jiwa raga, telah kembali kepada sang pencipta.

Isak tangis menggema, memenuhi ke setiap sisi ruangan. Wanita lemah itu merasa dunianya telah berakhir, sedangkan yang tersisa dalam benaknya ialah sesal dan ’seandainya..’.

Makhluk mungil berusia sepuluh pekan yang telah berpulang akan diangkat esok hari. Meninggalkan tempat ternyaman semasa ia bertumbuh dan berkembang.

Sebuah pelukan hangat dari suami mendarat. Raut wajah yang terukir tangguh dari pria itu selayaknya istana pasir;rapuh dan mudah hancur, namun sisi itu tak sanggup diperlihatkan.

Ia ingin sepenuhnya ada untuk wanitanya, menyembuhkan luka bersama-sama, dan membangun kembali dunia bahagia mereka.

Terimakasih sudah memberi ijin untuk mengangkat kisah kamu yang luar biasa ini, ya.

Semoga Allah ta’la menyempurnakan pahala untuk kamu dan suami, memberi ganti dengan yang lebih baik.

Dari temanmu, Ulfa.

”Padahal karunia Gusti Allah lebih luas daripada lautan, namun mengapa hati terasa sempit?”

Sulit untuk bernapas. Sesaknya bagaikan terkurung dalam ruang gelap nan sempit yang tak bercela, atau seperti terpaksa berlari di lorong tertutup tiada ujung tanpa alasan.

Rasa memuakkan yang bernama ketakutan seketika muncul, membumbung naik ke tenggorokan membikin lidah seolah dicekat. Merasa payah jika harus berteriak.

Semuanya hitam disegala sisi, bahkan tak menyadari tangan-kaki-tubuh ada dimana karena tak dirasa. Seakan-akan badan hanyalah sepasang mata dan telinga.

Kini, diri telah larut dalam kehampaan. Memilih ikhlas hanyut terbawa dalam gamang yang entah sampai kapan. Membiarkan ombak kepelikan memenuhi ke segala ruang dalam diri dan hati, meskipun tahu nantinya akan sulit menata bila tercerai-berai.

Mengambang dalam diam kemudian merelakan diri terseret hingga batas antara sadar dan tidak.

Adegan berubah dalam sekejap mata. Semuanya bagaikan ilusi, karena saat ini raga berada pada kilas balik masa lalu. Kejadian yang akan selalu menjadi kenangan antara dua insan yang sedang berikrar setia dihadapan Allah.

Haru bahagia yang diselubungi nuansa serba putih, menumbuhkan bunga-bunga cinta yang harumnya semerbak dari dalam sisi pasangan sah. Perasaan putih wangi itu masih lekat sampai kapanpun. Sentuhan fisik saat bersalaman untuk pertama kali entah bagaimana menjadi sebuah sengatan listrik ajaib yang sensasinya selalu teringat. Wanita disana adalah diri sendiri yang kini hanya mampu melihat dari bayang-bayang semu.

Semuanya menjadi kabur, berpindah bagian ke rumah mungil yang hanya beberapa petak ruangan. Terdengar jelas pintu kayu terketuk lembut, disusul dengan salam. Dibuka oleh seorang wanita yang sedang mengandung yang langkah kakinya agak tertatih karena hamil tua. Membalas salam.

Makan daging rendang satu dibagi dua-dengan sayur dan kuah yang di rikues banyak-porsi nasi menggunung-satu piring berdua-dilahap langsung dengan tangan. Romantisme yang berkedok prihatin, namun raut wajah bahagia. Keyakinan pada Allah ditambah cinta yang saling menguatkan, membuat nestapa tiada artinya. Bahtera mereka bernaungkan iman dan takwa.

Bagai sebuah gulungan film yang terputar maju secara cepat, akhirnya terhenti pada bagian yang acak. Suara anak laki-laki mengucap salam setengah berteriak. Kaki mungilnya berlari kecil-kecil agar segera sampai diambang pintu rumah yang kini bercat putih. Menyusul sosok laki-laki dewasa setelahnya.

“Nda, aku dan ayah sudah pulang!”

Anak menggelayut manja sambil memeluk wanita dewasa yang sering dipanggilnya “Bunda”. Asyik membicarakan bagaimana pengalamannya dimasjid saat shalat dan kajian bersama dengan Ayah, juga bagaimana senangnya mendapat kawan baru seusianya yang menuju sekolah dasar.

Kembali semuanya menjadi gelap. Kemudian lirih-lirih terdengar suara seseorang-yang aku tak tahu siapa-terus menerus memanggil nama, “Hafsah... Hafsah...”

Ada apa?

Setitik cahaya mulai menyapa, entah mengapa mata berat sekali untuk terbuka. Nama masih terus digaungkan, bedanya, kali ini ada tambahan beberapa kata, “Hafsah... Bangun...”

Kenapa?

Kesadaran mulai muncul, meskipun pandangan agak berkabut dan mata agak lembab. Mengerjap. Agak penasaran dengan orang-orang yang mengerumuni, pun tubuh yang seperti tertimpa beban berat.

Kalimat syukur langsung bersautan. Sepoi-sepoi terdengar sesorang memberikan titah untuk dibuatkannya teh hangat segera, entah siapa dan kepada siapa. Sedikit susah payah beberapa membantu untuk duduk, kemudian memberi teh hangat. Seteguk, dua teguk hingga beberapa tenggakan. Mereka menunggu kesadaran pulih.

“Ada apa ya ini, Bu-ibu?”

“Tadi njenengan (kamu) pingsan, mbak. Alhamdulillah sudah sadar.”

“Ya Allah. Maaf ya bu-ibu saya malah jadi ngrepotin. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah mendingan.”

Mereka tersenyum lega.

“Bu, terimakasih bantuannya ya. Karena sekarang saya sudah mendingan, biar suami saya saja yang bantu.”

Hening. Mereka saling bertatap-tatapan.

“Anu, bu.
Bapak tidak bisa,”

“Anak saya dan ayahnya kan sudah pulang.”

“Duh, saya musti bilang gimana ya ini.”

“Bilang saja apa adanya, bu.
Saya juga agak penasaran, padahal cuma pingsan tapi kenapa ya ramai begini.”

Terdengar tarikan napas panjang. Tangannya menggapai untuk saling menggenggam.

“Bapak dan thole sudah pulang sedari tadi. Sehabis shalat dhuhur.
Tapi, mereka tidak bisa langsung menemui ibu,
Bu, semoga Allah memberikan ketabahan, menjadikan hati ibu kuat,
Bapak dan thole mpun sedo (sudah meninggal)”